Daily Archives: Oktober 27, 2011

Penemuan Ikan Purba dari Jaman Dinosaurus di Sulawesi Utara

Standar

Sabtu, 19 Mei 2007 telah ditemukan Ikan Raja Laut, jenis ikan purba yang dikenal dengan sebutan coelacanth (Coelecanth latemeria), dekat Pantai Malalayang, Manado, Sulawesi Utara. Penemuan ikan coelecanth di perairan Sulawesi Utara ini, merupakan penemuan kedua kalinya, setelah penemuan pertama terjadi pada 1998 di Pantai Manado Tua. Ikan, dengan panjang sekitar 130 cm, lebar 46 cm dengan bobot sekitar 50 kg, yang dianggap sudah punah 65 juta tahun silam ini ditemukan hidup-hidup oleh Yustinus Lahama dan anaknya Delfi Lahama, nelayan dari Kelurahan Bahu Kecamatan Malalayang.

Yustinus dan anaknya pada hari itu, pergi kelaut untuk memancing ikan untuk dikonsumsi sendiri. Setelah sekitar 5 menit menenggelamkan umpan ikan malalugis dikedalaman kira-kira 70 meter, mereka merasa kail tersangkut sesuatu yang besar. Setelah diangkat, mereka melihat ikan besar berwarna gelap berbintik-bintik putih tersangkut pada mata kail. Diceritakan oleh Yustinus “Saat tersangkut, ikan tersebut tampak tidak melakukan perlawanan, tetapi setelah diangkat dan ditaruh dalam perahu ikan itu berontak hingga merusak beberapa barang dalam perahu”.

Yustinus awalnya tidak mengetahui jenis ikan apa yang baru saja ia peroleh, bahkan ia sempat akan memotong dan mengkonsumsi ikan tersebut. Secara kebetulan Darwin Papendeng karyawan Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi datang dan berhasil mencegah ikan itu dipotong. Darwin Papendeng mengenali ikan coelacanth itu, dengan segera ia menghubungi Dinas Perikanan Propinsi, Dinas Pariwisata dan media massa di Sulawesi Utara untuk mengabarkan penemuan coelacanth.
Spoiler for ikan purba:

Penemuan ikan ini sangat menarik bagi Gubernur Sulawesi Utara Drs Sinyo H Sarundajang dan Menteri Perikanan dan Kelautan Freddy Numberi, yang kebetulan hari itu berada di Manado. Awalnya ikan ini ditaruh di Bahu Mall, tetapi untuk mempertahankan hidupnya agar bisa lebih lama, coelacanth segera dipindahkan ke kolam yang lebih baik, di rumah makan City Extra Kalasey.

“Penemuan ini membuat Sarundajang menjadi sangat terobsesi dan berencana menjadikan ikan coelacanth ini sebagai maskot pada World Ocean Conference di Manado tahun 2009 mendatang,” dipaparkan Angelique Batuna, Project Leader WWF-Indonesia Bunaken Program.

Sangat disayangkan, ikan coelacanth tersebut akhirnya mati pada hari Minggu 20 Mei 2007 pk. 01.00 WITA setelah sekitar 17 jam bertahan hidup. Kini ikan tersebut sedang dalam proses pengawetan dan akan digunakan untuk penelitian.

Untuk mengetahui lebih spesifik tentang ikan tersebut, pemerintah kota Manado dan beberapa instansi terkait, sedang menunggu kedatangan seorang icthyologist (ahli ikan) dan hasil observasinya akan dipublikasikan dalam sebuah konperensi pers minggu depan.

Coelacanth (pisces latimeriidae) pertama kali muncul dalam kehidupan sekitar 400 juta tahun silam dalam bentuk fosil. Setelah sekitar 70 juta tahun lalu ikan ini tidak ditemukan lagi, sehingga para ahli menduga ikan itu telah punah. Ikan purba ini panjangnya bisa mencapai 2 meter dengan berat 100 kilogram. Ikan ini tidak bertelur, tapi melahirkan anak.

Ikan Coelacanth ditemukan pertama kali pada 23 Desember 1938 dari Laut India, tak jauh dari mulut Sungai Chalumna oleh Kapten Hendrick Goosen. Lalu oleh, kurator museum di East London, Marjorie Courtenay Latimer, ikan tersebut diserahkan kepada ahli ikan dari Universitas Rhodes, Prof. J.L.B. Smith. Maka akhirnya Untuk menghormati jasa Latimer dan Smith, ikan purba itu diberi nama Latimeria chalumnae smith. Habitat ikan Raja Laut ini diperkirakan berada pada kedalaman laut lebih dari 150 meter, perairan Kepulauan Komoro, sebelah barat Madagaskar. Tetapi sampai tahun 1990-an, beberapa individu tertangkap di perairan Mozambique, Madagaskar, dan Afrika Selatan dan pada 1998 untuk pertama kali tertangkap coelecanth spesies baru Coelacanth latimeria menadoensis pada jaring nelayan di perairan Manado Tua, Sulawesi Utara, yang spesimennya kini tersimpan di Museum Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong.

Coelecanth sejak 18 Januari 1980 telah dimasukkan dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), yang menyatakan ikan ini tidak boleh diperdagangkan antarnegara. Coelacanth berasal dari kata-kata Yunani; coelia (berongga) dan acanthus (duri), yang berarti ikan dengan duri berongga dan tergolong ke dalam ordo Coelacanth hiformes. Dipaparkan oleh Ika Rachmatika S., dkk., dari Pusat Penelitian Biologi LIPI ada perbedaan karakter morfologi dan genetika antara Coelecanth latimeria chalumnae yang ditemukan di Kepulauan Komoro dan Coelecanth latimeria menadoensis yang ditemukan di Manado.

Perbedaan Latimeria chalumnae (Kepulauan Komoro) dan Latimeria menadoensis (Manado)
Jenis Perbedaan Latimeria chalumnae Latimeria menadoensis
1. morfologi dan genetika berwarna kebiruan dengan noda putih yang tidak beraturan pada sisiknya berwarna kecokelatan dengan noda putih yang tidak beraturan pada sisiknya
2. karakter meristik memiliki jumlah jari-jari pada sirip punggung kedua yang banyak, namun memiliki jumlah jari-jari sirip ekor tambahan sedikit. memiliki jumlah jari-jari pada sirip punggung kedua sedikit, namun memiliki jumlah jari-jari sirip ekor tambahan yang banyak.

Coelacanth merupakan jenis ikan dengan karakter yang berbeda dengan ikan lainnya. Coelacanth memiliki “rostral organ” pada bagian pernapasan sebagai sistem electrosensory, dan engsel pada tengkorak yang memudahkan bagian depan tempurung kepala untuk bergerak lebih cepat, sehingga juga memperluas terbukanya mulut saat bernapas. Karekter ini tidak dimiliki oleh vertebrata lain. Keunikan lain termasuk lubang pengisi cairan “notocord” (yang biasa dimiliki oleh vertebrata primitif), hal ini memperkuat tulang belakang dan panjangnya tubuh.

Kisah Sukses Chairul Tanjung, Pengusaha Minang Pemilik Trans TV & Trans 7

Standar

Apa jadinya jika seorang calon dokter gigi justru merambah bisnis televisi? Jika ingin tahu jawabannya, lihatlah sosok Chairul Tanjung, pebisnis asli pribumi yang kini namanya berkibar dengan Grup TransTV dan Trans7. Berkat kesulitan ekonomi yang menderanya, ternyata hal tersebut justru menjadi bekal mengasah ketajaman insting bisnisnya.

Bermula dari awal kuliah di jurusan Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Biaya masuk kuliah kala tahun 1981 sebesar Rp 75 ribu, dengan uang kuliah per tahun Rp 45 ribu. Rupanya, untuk membayar uang kuliah tersebut, sang ibu sampai harus menggadaikan selembar kain halus.

“Saya betul-betul terenyuh dan shock, sejak saat itu saya bersumpah tidak mau meminta uang lagi ke orang tua,” kata dia pada pertengahan Januari 2009 ini.

Maka, kelahiran Jakarta, 18 Juni 1962 ini pun lantas memulai bisnis kecil-kecilan. Dia bekerjasama dengan pemilik mesin fotokopi, dan meletakkannya di tempat strategis yaitu di bawah tangga kampus. Mulai dari berjualan buku kuliah stensilan, kaos, sepatu, dan aneka barang lain di kampus dan kepada teman-temannya. Dari modal usaha itu, ia berhasil membuka sebuah toko peralatan kedokteran dan laboratorium di daerah Senen Raya, Jakarta. Sayang, karena sifat sosialnya – yang sering memberi fasilitas kepada rekan kuliah, serta sering menraktir teman – usaha itu bangkrut.

Ternyata, ia justru bisa makin berkembang dengan berbagai usahanya. Ia pun lantas memfokuskan usahanya ke tiga bisnis inti, yakni: keuangan, properti, dan multimedia. Melalui tangan dinginnya, ia mengakuisisi sebuah bank kecil yang nyaris bangkrut, Bank Tugu. Keputusan yang dianggap kontoversial saat itu oleh orang dekatnya. Namun, pengalaman bangkit dari kegagalan rupanya mengajarkannya banyak hal. Ia justru berhasil mengangkat bank itu, – setelah mengubah namanya menjadi Bank Mega – menjadi bank papan atas dengan omset di atas Rp1 triliun saat ini.

Selain itu, suami dari dokter gigi Ratna Anitasari ini juga merambah bisnis sekuritas, asuransi jiwa dan asuransi kerugian. Kemudian, di bisnis properti, ia juga telah membuat sebuah proyek prestisius di Kota Bandung, yang dikenal dengan Bandung Supermall. Dan, salah satu usaha yang paling melambungkan namanya yaitu bisnis televisi, TransTV. Pada bisnis pertelevisian ini, ia juga dikenal berhasil mengakuisisi televisi yang nyaris bangkrut TV7, dan kini berhasil mengubahnya jadi Trans7 yang juga cukup sukses.

Tak heran, dengan semua prestasinya, ia layak disebut sebagai “The Rising Star”. Bahkan, baru-baru ini, ia dinobatkan sebagai orang terkaya Indonesia, di posisi ke-18, dengan total kekayaan mencapai 450 juta dolar AS. Sebuah prestasi yang mungkin tak pernah dibayangkannya saat memulai usaha kecil-kecilan, demi mendapat biaya kuliah, ketika masih kuliah di UI dulu.

Hal itulah yang barangkali membuat Chairul Tanjung selalu tampil apa adanya, tanpa kesan ingin memamerkan kesuksesannya. Selain itu, rupanya ia pun tak lupa pada masa lalunya. Karenanya, ia pun kini getol menjalankan berbagai kegiatan sosial. Mulai dari PMI, Komite Kemanusiaan Indonesia, anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia dan sebagainya. “Kini waktu saya lebih dari 50% saya curahkan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan,” ungkapnya.

Kini Grup Para mempunyai kerajaan bisnis yang mengandalkan pada tiga bisnis inti. Pertama jasa keuangan seperti Bank Mega, Asuransi Umum Mega, Asuransi Jiwa Mega Life, Mega Capital Indonesia. Kedua, gaya hidup dan hiburan seperti Trans TV, Trans7. Ketiga berbasis sumber daya alam.

Belakangan, Chairul bekerja sama dengan Jusuf Kalla membentuk taman wisata terbesar di Makassar.

Chairul merupakan salah satu dari tujuh orang kaya dunia asal Indonesia. Dia juga satu-satunya pengusaha pribumi yang masuk jajaran orang tajir sedunia. Enam wakil Indonesia lainnya adalah Michael Hartono, Budi Hartono, Martua Sitorus, Peter Sondakh, Sukanto Tanoto dan Low Tuck Kwong.

Berkat kesuksesannya itu Majalah Warta Ekonomi menganugerahi Pria Berdarah Minang/Padang sebagai salah seorang tokoh bisnis paling berpengaruh di tahun 2005 dan Dinobatkan sebagai salah satu orang terkaya di dunia tahun 2010 versi majalah Forbes dengan total kekayaan $1 Miliar.

sumber : http://www.lintasberita.com/v2/index.php/go/1611871